Selasa, 03 Maret 2009

INFORMED CONSENT

Mahasiswa mampu:
1. Menjelaskan pengertian Informed Consent
2. Menjelaskan Informed Consent dalam praktek sekarang
3. Menjelaskan bentuk Informed Consent
4. Menjelaskan aspek hukum dari Informed Consent
5. Menjelaskan informasi yang berkaitan dengan Informed Consent
6. Menjelaskan permenkes tentang pertindik
7. Menjelaskan situasi khusus yang berkaitan dengan Informed Consent
8. Menjelaskan sangsi hukum

PENDAHULUAN
Sekarang ini adalah era globalisasi dan era informasi. Dengan semakin bertambah cerdasnya masyarakat dunia tak terkecuali Indonesia, menimbulkan keinginan, kebutuhan, dan atau bahkan kewajiban untuk menambah ilmu pengetahuan, untuk mengetahiu segala sesuatu yang baru. Hal ini dikarenakan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi setiap saat semakin maju dan terus berkembang sehingga mempercepat hubungan antar negara dan memberikan dampak yang kuat terhadap falsafah dan cara berpikir manusia.
Informasi merupakan keterangan, data, penjelasan tentang suatu hal. Tanpa informasi manusia akan tertinggal. Dan tanpa disadari timbullah rasa ingin tahu lebih banyak tentunya disagela bidang, diantaranya dalam bidang medis dan kesehatan. Katakanlah zaman dahulu pasien berobat hanya pasrah saja mengikuti apa kata dokter (yang notabene selalu benar) mengenai segala sesuatu tentang pengobatannya, namun sekarang semua telah berubah, pikiran manusia semakin maju mengikuti perkembangan yang ada.
Di zaman sekarang ini pasien ingin tahu lebih dahulu apa yang dideritanya, apa nama penyakitnya, apa nama obat yang diberikan, tindakan apa yang dilakukan terhadapnya, apa resikonya, dan apa tidak ada alternatif lain untuk itu ?. Sebelumnya semua itu harus ada penjelasan dari dokter, dan pasien berhak untuk mengetahui apa yang hendak dilakukan dokter terhadapnya. Ia juga bisa menolak apa yang dianjurkan dokter terhadapnya. Dan jika dalam tindakan dokter ternyata hasilnya tidak berhasil, maka dokter harus bertanggung jawab dan memberikan penjelasan untuk itu. Karena semua itu sudah menjadi hak asasi sebagai seorang pasien dan manusia “berhak menentukan pilihan, berhak menentukan apa yang dikehendaki terhadap dirinya dan orang lain tidak berhak mencampuri”. Namun disamping itu pasien berhak pula melepaskan hak atas informasinya (hak waiver), dengan kata lain ia berhak untuk meminta kepada dokter agar tidak diberitahukan penyakit (hasil pemeriksaan) kepadanya.
Jay katz mengemukakan teorinya tentang “the idea of informed consent” yang intinya informed consent pada hakekatnya adalah suatu pemikiran mengenai keputusan tentang pemberian pengobatan kepada seorang pasien harus terjadi secara kolaboratif antara pasien dan dokter.
Latar belakang informed consent secara prinsip adalah bahwa setiap manusia berhak untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya.
Hal ini kemudian di jabarkan menjadi :
1. Pasien harus memahami dan mempunyai informasi yang cukup untuk mengambil keputusan informasi yang cukup untuk mengambil keputusan menganai perawatan terhadap dirinya.
2. Pasien harus memahami persetujuan atas perawatan terhadapnya, baik secara lisan atau tertulis, secara eksplisit maupun implicit.


PENGERTIAN
Consent berasal dari bahasa Latin Consentio yang artinya persetujuan, izin, menyetujui, memberi izin/wewenang kepada seseorang untuk melakukan sesuatu. Dengan demikian Informed Consent dapat diartikan sebagai izin atau pernyataancsetuju dari pasien yang diberikan secara bebas sadar, dan rasional, setelah ia mendapat informasi yang dipahami dari dokter tentang penyakitnya.
Secara etimologis Informed Consent berasal dari kata informed yang artinya sudah diberikan informasi atau sudah dijelaskan atau sudah diuraikan dan kata consent yang artinya persetujuan atau izin. Jadi Informed Consent atau Persetujuan Tindakan Medik adalah persetujuan dari pasien atau keluarganya terhadap tindakan medik yang akan dilakukan terhadap dirinya atau keluarganya setelah mendapat penjelasan yang adekuat dari dokter
Jay katz mengemukakan “the idea of informed consent” yang intinya informed consent pada hakekatnya adalah suatu pemikiran mengenai keputusan tentang pemberian pengobatan kepada seorang pasien harus terjadi secara kolaboratif antara pasien dan dokter.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 55 tahun 1989 yang sudah berlaku sejak tanggal 4 September 1989 ini menterjemahkan informed consent sebagai “persetujuan tindakan medis (PTM)”, lembaga PTM mengatur materi tentang persetujuan pasien dalam tindakan medis. Dan ini sudah berlaku hampir di semua negara.
Sejak berlakunya Permenkes tersebut jika seorang dokter melakukan tindakan medis apapun terhadap pasien maka terlebih dahulu ia harus memberikan informasi atau penjelasan mengenai tindakan apa yang hendak dilakukan, apa resikonya, apa manfaatnya, ada tidaknya tindakan alternatif lain, apa yang mungkin terjadi jika tindakan tersebut tidak dilakukan. Keterangan ini tentunya harus diberikan secara jelas dan dalam bahasa yang sederhana yang dapat dimengerti oleh pasien dengan memperhitungkan tingkat pendidikan dan intelektualnya. Dan jika pasien sudah mengerti sepenuhnya dan memberikan persetujuan maka barulah dokter melakukan tindakannya. Pasien akan diminta menanda-tangani suatu formulir sebagai tanda persetujuannya. Banyak orang tidak membedakan antara :
1. Persetujuan atau izin yang diberikan secara lisan pada saat dokter dan pasien berdialog dan memperoleh kesepakatan
2. Penanda-tanganan formulir oleh pasien yang sebenarnya merupakan suatu kelanjutan dan pengukuhan dari kesepakatannya yang sudah diperoleh pada waktu dokter memberi penjelasan.

Tindakan medis dikatakan sudah ada Informed Consent dari pasien apabila : Pertama, dokter memberikan informasi yang jelas terlebih dahulu kepada pasien, mengenai tindakan apa yang hendak dilakukan, apa resikonya, apa manfaatnya, ada tidaknya tindakan alternatif lain, apa yang mungkin terjadi jika tindakan tersebut tidak dilakukan. Kedua, pasien mengerti sepenuhnya apa yang dijelaskan dokter dan memberikan pernyataan setuju secara lisan. Ketiga, setelah ada persetujuan, pasien akan diminta menanda-tangani suatu formulir persetujuan sebagai tanda bukti jika diperlukan kelak. Dan barulah tindakan medis tersebut dapat dilakukan.
Apabila sudah ada Informed Consent dari pasien, tetapi ternyata kemudian dokter melakukan kelalaian (negligance) maka dokter tersebut bisa dituntut, karena pasien hanya memberikan persetujuannya untuk dilakukan tindakan medis tertentu, dimana dokter harus melakukannya berdasarkan standar profesi medis yang berlaku. Hal ini berarti dokter harus bekerja dengan hati-hati, teliti, dan wajar.
Informed Consent dari pasien dilakukan pada tindakan bedah, tindakan invasif atau tindakan lain yang mengandung resiko tinggi (pemberian radiologi dengan kontras, penyinaran dengan X-ray, kateterisasi jantung, dan sebagainya).
Suatu informasi harus dilakukan oleh dokter itu sendiri dan tidak boleh didelegasikan kepada perawat. Suatu informasi harus deberikan dengan etikat baik (te goeder trouw), secara jujur dan tidak bersifat menakut-nakuti atau memberi tekanan atau pemaksaan. Sesuai dengan KUHP pasal 1321 “suatu persetujuan tidak mempunyai nilai hukum jika diberikan karena kekhilafan, karena diancam dengan kekerasan, atau diperoleh dengan tipuan”.

Dasar dari Informed Consent adalah :
Hubungan dokter-pasien yang berdasarkan atas kepercayaan.
Hak otonom atau menentukan sendiri atas dirinya sendiri.
Adanya hubungan perjanjian antara dokter-pasien

Tujuan dari Informed Consent adalah :
Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien.
Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan bersifat negatif

INFORMED CONSENT DALAM PRAKTEKNYA SEKARANG
Informed consent dalam prakteknya bukanlah sebagai suatu keharusan legalistik-formil-administratif belaka, namun merupakan suatu kewajiban dalam arti materiil sebenarnya. Dan seharusnya dilakukan pemberian informasi terlebih dahulu sebelum dilakukan suatu tindakan medis sesuai sebagaimana diisyaratkan di dalam Permenkes. Di Indonesia ada beberapa alasan mendesak untuk segera kita memulainya, antara lain :
Dengan sudah mulai berlakunya Permenkes No. 585/ 89 tentang “Persetujuan Tindakan Medis” maka hai ini sudah merupakan kewajiban hukum bagi para dokter.
Hukum medis di luar negeri sudah berkembang pesat, termasuk juga doktrin Informed Consent. Jika tidak sejak sekarang dimulai maka kita akan semakin sukar untuk mengejar ketertinggalan tersebut. Teristimewa tentang PTM yang di luar negeri kini mungkin sudah terdapat beberapa ratus judul tulisan, baik dalam bentuk buku ilmiah, maupun artikel di dalam majalah medis dan juga media massa.
Dengan terbukanya kemungkinan pendirian Rumah Sakit untuk PMA dan PMDN, maka akan bisa masuk pula walaupun mungkin untuk jangka waktu tertentu tenaga dokter asing. Maka mulai sekarang para dokter perlu mempersiapkan diri untuk memperkuat kedudukan masing-masing. Untuk itu diperlukan juga pengetahuan tentang Hukum Medis di kebiasaan-kebiasaan yang secara umum berlaku di dalam dunia medis modern.

Dalam prakteknya para dokter diminta mengorbankan atau menyediakan waktu untuk memberikan informasi (penjelasan) kepada pasien tentang tindakan apa yang hendak dilakukan. Secara teoritis yuridis dianggap bahwa kedudukan pasien dan dokter di dalam hubungan terpautiik adalah sederajat, berada dalam kedudukan yang seimbang. Namun kenyataanya tidaklah demikian, menurut

Faden & Beauchamp
“A fiduciary relationship exists because patients and physicians are unequal in possession of information and power to control the circumstances under which they meet. One party is fit and medically knowledgeable, the other is sick and medically ignorant :”

Dokter punya kedudukan yang kuat, karena :
1. Mempunyai pengetahuan tentang ilmu kedokteran.
2. Seorang dokter tidak bergantung kepada pasien itu.
3. Seorang dokter secara umum berada pada keadaan yang sehat.
4. Seorang dokter tidak berada dibawah tekanan mental.
5. Seorang dokter berada dalam kedudukan yang bebas.

Pasien mempunyai kedudukan yang lebih lemah, karena :
1. Secara umum tidak berpengetahuan ilmu medis.
2. Tidak berdaya, sangat bergantung kepada dokternya.
3. Pasien berada dalam keadaan sakit.
4. Pasien berada dibawat tekanan psikis, cemas, dan ketakutan.
5. Pasien berada dalam keadaan tidak bebas karena penyakitnya.

Sangat jelas tidak adanya keseimbangan di dalam perjanjian terpautik tersebut. Maka oleh hukum dokter dibebankan untuk mengadakan keseimbangan dengan kewajiban memberikan informasi kepada pasiennya. Misalnya sebelum melakukan tindakan operasi, dokter tersebut harus memberikan penjelasan mengenai :

Tindakan apa yang hendak dilakukan
Manfaat dilakukannya operasi tersebut
Resiko-resiko apa yang melekat pada operasi tersebut
Alternatif terapi lain (jika ada)
Apa akibatnya jika operasi itu tidak dilakukan
Dan lain-lain keterangan yang diperlukan.

BENTUK INFORMED CONSENT
Informed Consent dapat berbentuk :
Dengan suatu pernyataan (expressed)
 Bisa secara lisan (oral)
 Bisa secara tertulis (written)
Dianggap diberikan (implied or tacit consent)
 Dalam keadaan biasa (normal condition)
 Dalam keadan gawat-darurat (emergency)

Izin pasien yang paling sederhana adalah dalam bentuk lisan. Selanjutnya izin lisan inilah yang kemudian menjadi dasar izin tertulis, yaitu sebagai penegasan dan memudahkan dalam kaitan dengan pembuktian kelak bahwa pasien telah memberi izin. Izin lisan biasannya untuk tindak medis yang rutin misalnya, penyuntikan. Pada hal-hal khusus, misalnya suatu pemeriksaan dalam terhadap seorang wanita, izin lisan ini ,masih perlu diperkuat lagi dengan kehadiran saksi tertentu (misalnya perawat atau bidan). Izin lisan juga di perlukan pada tindakan pembedahan ringan yang tidak memerlukan pembiusan umum. Pada pembedahan besar/mayor dan tindakan-tindakan yang memerlukan pembiusan umum lainnya, diperlukan izin tertulis mengingat pada setiap pembedahan selalu melekat risiko yang kadang-kadang tidak dapat atau tidak mungkin diperhitungkan sebelumnya. Dalam hal seperti inilah izin tertulis diperlukan untuk memudahkan pembuktian kelak dan melindungi dokter dari kemungkinan pengingkaran izin oleh pasien. Sedangkan suatu izin dianggap telah diberikan oleh pasien (implied consent) apabila dilakukan untuk pemeriksaan rutin biasa, misalnya pengkuran tekanan darah, pengambilan contoh darah, dan sebagainya. Bentuk lain dari implied consent adalah tindakan yang merupakan suatu rangkaian persiapan dari pembedahan yang telah mendapat izizn (tertulis) paisen, misalnya pemasangan kateter atau pencukuran brambut sekitar tempat pembedahan.
Keadaan gawat darurat yang merupakan situasi khusus dapat di masukkan dalam kategori implied consent. Dalam keadaan ini factor waktu memegang peranan yang sangat menentukan, sehingga setiap penundaan tindak medis terhadap terhadap pasien akan dapat berakibat serius bahkan sampai fatal. Maka untuk itu hal-hal khusus ini, izin dari pasien tidak lagi menjadi masalah yang penting, justru penundaan operasi yang berakibat serius atau fatal hanya karena menunggu pasien atau keluarganya, dapat menjadi dasar penuntutan terhadap dokter karena tindak kelalaiaan.

ASPEK HUKUM DARI INFORMED CONSENT
Standar Profesi Medik (SPM) dan informed consent merupaskan 2 unsur pokok yang harus di penuhi dalam pelaksanaan profesi kedokteran.
Dari sudut Hukum Pidana, informed consent harus di penuhi dengan adannya pasal 351 KUHP, yaitu tentang penganiayaan. Suatu pembedahan yang dilakukan tanpa izin pasien dapat di sebut sebagai penganiayaan dan merupakan pelanggaran terhadap pasal 351 KUHP. Leeenen memberikan contoh, apabila A menusuk/menyayatkan pisau pada pasien B sehingga timbul luka, maka tindakan tersebut dapat di sebut sebagai penganiayaan. Apabila A adalah seorang dokter, tindakan itu tetap merupakan penganiayaan, kecuali :
1. Pasien itu setuju dengan tindakan terhadap dirinya tersebut.
2. Tindak medis berupa pembedahan yang pada hakekatnya juga menyayat, menusuk dan memotong tubuh pasien berdasarkan sutu indikasi medik dan di tujukan untuk suatu tujuan yang nyata.
3. Tindak medis tersebut dilakukan sesuai dengan kaidah ilmu kedokteran yang diakui dalam dunia kedokteran.
Ketiga syarat di atas harus di penuhi semuannya (kumulatif) untuk menghilangkan sifat bertentangan dengan hokum karena adanya pasal 351 KUHP. Ketiga syarat tersebut saling melengkapi dan berkaitan, sehingga pasal 351 KUHP dapat di kenakan bila salah satu diantaranya tidak terpenuhi, terlupakan atau terabaikan.
Pasal 89 KUHP juga berkaitan dengan tindak pembedahan yang memerlukan pembiusan karena dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa membuat seseorang dalam keadaan pingsan atau dalam keadaan tidak berdaya adalah termasuk dalam tindak kekerasan. Dari sudut Hukum Perdata dikatakan bahwa tanggung jawab professional sangat erat hubungannya dengan ketentuan mengenai perikatan , yakni menyangkut perjanjian perawatan maupun terapeutik. Dalam hokum perdata ada 2 kategori, yaitu perikatan berdasarkan upaya/usaha yang maksimal ( inspanningsverbintenis) dan perjanjian berdasarkan hasil (resultaatverbintenis). Perjanjian antara dokter dan pasiennya termasuk dalam kategori pertama.
Selanjutnya pasal 1320 KUHP perdata menegaskan bahwa untuk sahnya sutu perjanjian harus di penuhi 4 syarat, yaitu :
1. Adanya kesepakatan dari kedua belah pihak yang bebas dari paksaan, kekeliruan, salah paham dan penipuan.
2. Kedua belah pihak telah cakap untuk membuat suatu perjanjian.
3. Adanya suatu hal tertentu/nyata yang diperjanjikan.
4. Perjanjian tersebut mengenai suatu sebab yang halal, yang dibenarkan dan tidak di larang oleh peraturan perundang-undangan, serta merupakan suatu sebab yang masuk akal untuk di penuhi oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian.

INFORMASI YANG BERKAITAN DENGAN INFORMED CONSENT
Secara umum dapat dikatakan bahwa semua tindak medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus di informasikan sebelumnya, namun izin yang harus di berikan oleh pasien dapat berbagai macam bentuknya, baik yang dinyatakan ataupun tidak. Yang paling penting untuk di ketahui adalah bagaimana izin tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis, sehingga akan memudahkan pembuktiannya kelak bila timbul perselisihan.
Secara garis besar dalam melakukan tindak medis pada pasien, dokter harus menjelaskan beberapa hal, yaitu :
1. Garis besar seluk-beluk panyakit yang di derita dan prosedur perawatan / pengobatan yang akan di berikan / di terapkan.
2. Risiko yang akan di hadapi, misalnya komplkasi yang diduga akan timbul.
3. Prospek / prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.
4. Alternatif metode perawatan / pengobatan
5. Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan.
6. Prosedur perawatan / pengobatan yang akan di lakukan merupakan suatu percobaan atau menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan di lakukan.

Dalam suatu pembedahan khususnya, akan selalu ada risiko yang melekat dan risiko ini acapkali sulit diperkirakan timbulnya, sehingga risiko yang timbulnya, sehingga risiko yang demikian tidak dapat dilimpahkan tanggung jawabnya kepada dokter. Demikian pula dengan kemungkinan tujuan pembedahan tidak tercapai yang selslu ada dalam setiap tindak medis, tanggung jawabnya tidak dapat di limpahkan kepada dokter. Namun harus dingat baik-baik bahwa semuanya itu mensyaratkan satu hal , yaitu pemenuhan informed consent dan SPM.
Oleh karena itu, timbul pertanyaan, apakah harus menjelasakan secara rinci semua risiko yang mungkin timbul dalam pembedahan? Guwandi menyatakan bahwa dokter tidak mungkin menjelaskan semua risiko yang mungkin timbul dalam sutu pembedahan, sehingga hanya unsure-unsur tertentu yang umumnya berjkaitan dengan kasus saja yang perlu dijelaskan . Unsur risiko itu meliputi :
1. Sifat (nature) dari risiko itu.
2. Tingkat keseriusan (magnitude) dari risiko.
3. Besarnya kemungkinan timbulnya (probability) dari risiko.
4. Kapan atau jangka waktu kemungkinan timbulnya (immimance) risiko, bila ia akan timbul.


INFORMASI
Beberapa hal yang perlu diperhatikan mengenai informasi ini adalah :
a. Informasi harus diberikan, baik diminta maupun tidak.
b. Informasi tidak boleh memakai istilah kedokteran karena tidak dimengerti oleh orang awam.
c. Informasi harus diberikan sesuai dengan tingkat pendidikan, kondisi dan situasi pasien.
d. Informasi harus diberikan secara lengkap dan jujur, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan atau kesehatan pasien atau pasien menolak diberi informasi.
e. Informasi dapat diberikan kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang perawat/ paramedic lainnya sebagai saksi dan dengan seijin pasien.
f. Untuk tindakan bedah (operasi) atau tindakan invasif yang lain, informasi harus diberikan oleh dokter yang akan melakukan operasi. Apabila, dokter yang bersangkutan tersebut tidak ada, maka informasi harus diberikan oleh dokter yang lain dengan sepengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.
g. untuk tindakan yang bukan bedah atau tindakan yang tidak invasif lainnya, informasi dapat diberikan oleh lain atau perawat dengan sepengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung jawab.

PERMENKES TENTANG PERTINDIK disebutkan bahwa :
- Yang berhak memberikan persetujuan adalah pasien dewasa yang dalam keadaan sadar dan sehat mental.
- Yang dimaksud dengan pasien dewasa ialah yang telah berumur 21 tahun atau telah menikah.
- Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampunan, persetujuan diberikan kepada wali/ kurator.
- Bagi pasien dewasa yang menderita gangguan mental, persetujuan diberikan oleh orang tua/ wali/ korator.
- Bagi pasien dibawah umur 21 tahun dan tidak mempunyai orang tua/ wali atau orang tua/ wali berhalangan, persetujuan diberikan oleh keluarga terdekat atau induk semang (guardian).

Ada tiga hal di mana persetujuan tidak diperlukan :
1. Dalam hal pasien tidak sadar/ pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat dan atau darurat yang memerlukan tindakan medik segera untuk kepentingannya, tidak diperlukan persetujuan dari siapapun (Pasal 11)
2. Perluasan operasi yang tidak diduga sebelumnya, dapat dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien, tanpa diminta persetujuan terlebih dahulu. Informasi dapat diberikan setelah perluasan operasi selesai dilakukan (Pasal 7)
3. Dalam hal tindakan medik yang harus dilaksanakan sesuai dengan program pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat banyak, maka persetujuan tindakan medik tidak diperlukan (Pasal)

SITUASI KHUSUS YANG BERKAITAN DENGAN INFORMED CONSENT
A. Keadaan Gawat Darurat (Emergency)
Pada suatu gawat darurat sering kali dijumpai pasien yang berada dalam keadaan tidak sadar (misalnya karena kecelakaan lalu lintas) dan tidak ada anggota keluarga yang hadir, sedangkan pasien dalam keadaan gawatnya sehingga harus segera di lakukan pembedahan untuk menyelamatkannya. Dalam keadaan seperti ini, setiap penundaan (termasuk penundaan operasi) akan berakibat serius bahkan fatal terhadap pasien, sehingga tidak ada waktu lagi mencari atau menghubungi keluarga pasien (apalagi meminta izin untuk operasi misalnya). Dalam keadaan seperti ini, dokter dapat bertindak melakukan segala langkah yang diperlukan (termasuk operasi) untuk menyelamatkan nyawa pasien, tanpa perlu menunbggua izin dari siapa pun. Apabila dokter menunda operasi hanya karena belum ada izin untuk itu dan kemudian terjadi akibat yang serius atau fatal karena penundaan tersebut, justru dokter dapat dituntut karena kelalaian.
Leenen menjelaskan mengenai suatu fiksi hokum, bahwa seseorang yang berada dalam keadaan tidak sadar akan menyetujui apa yang umumnya akan di setujui oleh seorang yang berada dalam keadaan sadar, pada situasi dan kondisi sakit yang sama. Ameln menamakan ini presumed consent untuk keadaan gawat darurat. Dasar hukumnya adalah pasal 1354 KUHPerdata, yang mengatur tenteng perwalian sukarela atau zaakwaarneming, yaitu “ Apabila seseorang secara sukarela tanpa disuruh setelah mengurusi urusan orang lain, baik dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka secara diam-diam telah mengikatkan dirinya untuk meneruskan mengurusoi urusan itu sehingga orang tersebut sudah mampu mengurusinya sendiri” .
Doktrin yang diakui dalam dunia kedokteran tentang keadaan gawat darurat meliputi 4 (empat) hal, yaitu : syok atau renjatan (shock) perdarahan (hemorrhage) patah tulang (fracture) dan kesakitan (pain). Sedangkan rumusan George J. Anas mengenai keadaan gawat adalah sebagai berikut ”…any injury or acute medical condition liable to cause death, disability or serious illness if not immediately attended to “

B. Pembiusan
Sebenarnya sutu tindakan pembiusan atau anesthesia merupakan salah satu langkah / cara untuk mempermudah operasi, yakni dengan mengurangi rasa sakit atau “ menidurkan “ pasien sehingga operator dapat bekerja dengan tenang dan lancer. Masalah timbul karena adanya pasal 89 KUHP. Pasal tersebut menyatakan bahwa membuat seseorang tidak berdaya (ommacht) atau pingsan, dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan. Pertanyaannya, untuk pembedahan yang memerlukan pembiusan umum, apakah diperlukan izin (informed consent) tersendiri dari pasien atau keluarganya ?
Dalam hal ini ada yang berpendapat bahwa izin tersendiri tidak diperlukan lagi mengingattindakan anestesia sudah merupakan suatu rangkaian yang melekat dalam suatu operasi, sama halnya dengan berbagai langkah persiapan operasi lain, seperti pemasangan kateter atau pencukuran rambut di sekitar lokasi operasi. Namun sebagian lainnya berpendapat bahwa izin tersendiri tetap diperlukan untuk pembiusan (khususnya pembiusan umum), meskipun diketahui hal itu dilakukan untuk memungkinkan berlangsungnya suatu pembedahan karena adanya pasal 89 KUHP.

C. Operasi Tambahan (Extended Operation)
Dalam suatu pembedahan kadang-kadang di jumpai patologi lain yang dapat sekaligus dilakukan operasi saat itu juga, namun ada pula keadaan normal yang dianggap oleh dokter berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari (seperti apendiks / usus buntu). Secara hukum operasi tambahan seperti ini tetap harus meminta izin tersendiri, kecuali bila patologi itu akan membahayakan jiwa pasien bila tidak di ambil tindakan segera. Guwandi memberikan contoh pelanggaran ini, misalnya pada suatu seksio sesarea kemudian dokter menganggap berbahaya bila pasien melahirkan lagi, lalu ia melakukan sterilisasi tanpa izin.

D. Blanket Consent
Pada beberapa tempat pelayanan kesehatan, dapat di jumpai adanya formulir pernyataan persetujuan / izin yang mencantumkan “…saya ( baca: pasien ) menyetujui segala tindakan medik yang akan dilakukan dan membebaskan dokter dari segala tuntunan hokum kelak. Benarkah begitu ?
Inilah yang dalam kepustakaan-kepustakaan dikenal sebagai Blanket Consent.
Guwandi menegaskan bahwa seorang dokter (atau rumah sakit) juga tidak dapat (sebelumnya) secara umum membebaskan dirinya dari segala tanggung jawab maupun tuntunan untuk suatu tindak kesalahan atau kelalaian, baik perdata maupun pidana.
Hampir sama dengan itu, ialah formulir persetujan (informed consent) yang ditandatangani begitu saja oleh pasien tanpa membacanya, padahal pasien itu tidak tahu atau tidak paham dengan isi persetujuan (tindak medik) tersebut, atau dokter belum cukup menjelaskan atau malah dokter belum memberikan penjelasan sama sekali kepada pasien. Dalam keadaan ini, izin semacam itu sama sekali tidak mempunyai kekuatan hukum, Karena pasien jelas-jelas belum informed. Maka formulir yang telah ditandatangi itu juga belum membuktikan telah terjadi suatu persetujuan.
Dengan demikian , blanket consent atau pernyataan-pernyataan sejenisnya, tidak dapat membuktikan bahwa telah terjadi persetujuan pasien menerut syarat-syarat yang di tetapkan dalam pasal 1320 KUHPerdata. Penulis bahkan berpendapat, blanket consent itu juga mengandung unsur-unsur penipuan atau paling tidak tergantung maksud untuk melepaskan tanggung jawab terhadap akibat yang mungkin timbul. Sekali lagi, [pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan syarat sahnya suatu perjanjian secara tegas, yaitu “…bebas dari paksaan, kekeliruan, penipuan atau salah paham”.
Jadi harus ditegaskan lagi bahwa pemenuhan atas Standar Profesi Medik (SPM) dan informed consent dalam arti sebenarnya, telah cukup untuk membebaskan dokter dari berbagai tuntunan ataupun gugatan hukum.

SANKSI HUKUM
Tenaga kesehatan dan sarana kesehatan dimana PERTINDIK ini dilaksanakan, bertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuannya. Oleh karena itu, penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku dapat berakibat jatuhnya sanksi hukum terhadap mereka yang bersalah.

Sanksi Pidana
Seorang tenaga kesehatan yang menorehkan benda tajam, menusukkan jarum, atau membius pasien tanpa persetujuannya, dapat disamakan dengan melakukan penganiayaan, yang dapat dijerat dengan Pasal 351 KUHP, yang berbunyi :
1. Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2. Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
3. Jika perbuatan itu berakibat matinya orang, maka yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
4. Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan dengan sengaja.
5. Percobaan melakukan kejahatan itu tidak dipidana.


Sanksi Perdata
Tenaga kesehatan atau sarana kesehatan yang mengakibatkan kerugian bagi pasien, dapat digugat untuk mengganti kerugian yang diderita tersebut berdasarkan Pasal 1365, 1367, 1370 atau Pasal 1371 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.
Gugatan yang ditujukan kepada seorang dokter secara pribadi dapat dilakukan, apabila seorang dokter tersebut melakukan kesalahan ditempat praktek pribadi atau disebuah rumah sakit dimana statusnya adalah sebagai dokter tamu.
Sedangkan gugatan yang ditujukan kepada pimpinan sarana kesehatan dapat dilakukan, apabila kesalahan itu dilakukan oleh tenaga kesehatan yang bekerja disitu. Namun demikian, sarana kesehatan yang dirugikan oleh tenaga kesehatan yang bekerja disitu dapat menggugat tenaga kesehatan tersebut.hal ini perlu diketahui agar tenaga kesehatan yang bekerja disitu lebih berhati- hati didalam menjalankan tugasnya.

Sanksi Administratif
Pasal 13 PERMENKES TENTANG PERTINDIK mengatur tentang sanksi administratif yang isinya adalah:
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa persetujuan pasien atau keluarganya, dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan ijin praktek.


DAFTAR PUSTAKA

Suwandi, Johanes.2005. Rahasia Medis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Soeparto, Pitono, Hariadi, R, dkk. Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan. Surabaya: Komite Etik Rumah Sakit, RSUD Dr. Soetomo

Achadiat, Chrisdiono M.2006. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman. Jakarta: EGC.

Guwandi, 2005, Rahasia Medis, Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

Guwandi, 2007, Hukum Medic (Medical Law), Jakarta: Balai Penerbit FK UI.

1 komentar:

  1. thank you so much for this information.it's a good information for me as a nursing student.this has provided me additional knowledge!go on

    BalasHapus